Link Kedinasan

14 Jul 2020

Selama Pandemi Covid-19, Banyak Anak Jadi Korban Kejahatan Seksual dan Bullying

Orang tua diharapkan memperkuat pengawasan atas penggunaan gawai oleh anak, terutama keterlibatan anak di media sosial selama pemberlakuan kebijakan belajar di rumah (BDR) menyusul pandemi Covid-19. Hal itu menyusul laporan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC). Laporan itu menunjukkan, pada April 2020, jumlah kejahatan dan eksploitasi seksual terhadap anak mencapai 4,2 juta atau meningkat dua juta anak sejak laporan NCMEC pada Maret 2020.  Eksploitasi anak itu terus meningkat seiring dengan kian bertambahnya waktu anak bermain dengan gawai menyusul kebijakan pemerintah beberapa negara yang memerintahkan anak belajar dari rumah dan memanfaatkan gawai sebagai sarana belajar dan berkomunikasi dengan guru. Penggunaan gawai juga meningkat karena aktivitas anak di luar rumah dibatasi menyusul pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga pelaksanaan fase new normal. Anak  yang terbiasa bebas melakukan berbagai interaksi sosial seperti bermain dan belajar di luar rumah ataupun di sekolah, mau tidak mau hal tersebut dihindari dan akhirnya mereka bermain menggunakan gawai. Masalahnya, intensitas anak bermain gawai itu disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kejahatan, salah satunya ekploitasi seksual anak online . “Meningkatnya intensitas anak dalam menggunakan media sosial selama pandemi membuka peluang bagi pelaku kekerasan untuk melakukan grooming sebagai tujuan seksual, “ujar Rio Hendra, selaku Koordinator Advokasi dan Layanan Hukum ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking Of Children For Sexual Purposes) Indonesia, dalam Webinar Series “Internet Aman untuk Anak” Batch 3 (tiga) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), Selasa (30/6) lalu. Menurut Rio, tahapan grooming untuk tujuan seksual berawal ketika oknum mencari anak yang rentan dan mengumpulkan informasi. Lalu, mereka membangun komunikasi dengan anak tersebut. Selanjutnya, ketika anak sudah merasa nyaman dengan oknum tersebut, mereka melakukan perjanjian dengan anak tersebut, sehingga anak menjadi tertutup dengan lingkungan sekitarnya, dan hanya berkomunikasi secara menyendiri dengan oknum tersebut yang disebut fase rahasia dan isolasi. Lalu, secara bertahap oknum meningkatkan komunikasinya ke arah seksual. Untuk menghindari anak dari tindak grooming, Rio memberikan tips: pertama, yakni  anak dididik dan didorong orang tua untuk mampu mengatakan “Tidak” apabila diminta atau diajak dalam situasi yang dapat diindikasikan grooming. Kedua, keluarkan anak dari  grup atau lingkungan yang membuat mereka terjebak dalam situasi tersebut. “Upayakan agar anak mampu menceritakan hal tersebut kepada orang yang mereka percayai ketika mereka atau temannya menghadapi situasi tersebut, “jelas Rio. Selain terjadinya eksploitasi seksual online pada anak, juga perlu diwasapadi cyberbullyng. Founder Yayasan SEJIWA, Diena Haryana berharap agar anak-anak, sebagai netizen unggul mampu memberikan semangat terhadap temannya yang menjadi korban cyberbullying, karena dampak paling parah akibat cyberbullying adalah menyebabkan bunuh diri. “Cyberbullying seperti virus, awalnya hanya 1 (satu) orang yang tidak suka terhadap target bullying, dan akhirnya ia mengajak orang lain untuk ikut membenci dan mengintimidasi target tersebut. Cyberbullying terjadi apabila sudah ada orang yang merasa tersakiti, terluka, dipermalukan, dan merasa sedih, “kata Diena. Ia berharap agar anak-anak diharapkan menjadi netizen unggul yang juga memiliki empati terhadap teman-temannya. Tidak menyakiti orang lain melalui cyberbullying, bahkan mampu memberikan semangat dan mendampingi teman-temannya yang menjadi korban cyberbullying. Ciput Eka Purwianti, Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mengingatkan kapada para orang tua bahwa seringkali anak tidak mengetahui dan menyadari berbahaya pada media sosial. Menurutnya, masih banyak anak-anak yang tidak mengetahui konsekuensi berbahaya pada media sosial. “Anak harus sadar ketika mereka mengakses media sosial, kemungkinan ada predator seksual anak yang mengintai dan menyasar mereka untuk melakukan hal-hal berbahaya. Mereka mendekati anak-anak melalui pesan langsung (direct message) di media sosial. Sayangnya, anak-anak juga tidak tahu bagaimana caranya melindungi diri mereka dari predator seksual anak di media sosial,” ujar Eka.  Eka berharap agar orang tua bekerjasama dengan anak-anaknya untuk menggunakan parenting control dan melakukan kesepakatan terkait penggunaan media sosial. Parenting control dan kesepakatan dengan orangtua tidak terbatas pada penggunaan media sosial, tapi penggunaan gawai secara umum, termasuk akses aplikasi media sosial, game online, dan materi-materi online lainnya di internet. “Kami berharap anak-anak mampu menjadi netizen unggul,” terang Eka..
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900863

0 komentar :

Posting Komentar